(Lok. Gua Maria Cingcoleng. Sumber : Welakaweng.com)

Hari itu menjadi hari terakhir di bulan suci bagi umat Kristiani. Bulan di mana hampir setiap malam aku menceritakan keluh kesahku tentang lika-liku perjalanan hidup di dunia kepada Maria. Aku secara diam-diam menyembah dan berdoa kepadaNya, mengisahkan semua dosa yang telah aku lakukan di masa lalu, sembari memohon ampun agar kembali pada jalan hidup yang benar.

Kelopak mataku tak sanggup lagi menetes air mata, sudah terlalu banyak orang yang aku lukai dengan kasih sayang yang tak tulus.

“Nak, kau seorang perempuan. Kelak jika kau melahirkan seorang buah hati seperti 1Ende telah melahirkan kau ke dunia ini, aku minta kau mengajarkan anak-anakmu berdoa. Minta pertolongan Tuhan dengan cara menyerahkan diri secara utuh” Demikian pesan Ende satu-satunya yang masih kuingat sebelum ia pergi meninggalkan aku dan 2Ema, kekasihnya.

Pesan itu membuka kembali ingatan tentang sosok wanita tua yang telah lama tak kujumpai menemani suaminya setiap kembali dari kebun. Aku tidak ingin mencari tahu kemana wanita itu pergi. Ema selalu saja mengalih topik pembicaraan kami, saat aku tanya soal keberadaan Ende. Terakhir katanya Ende jatuh sakit dan sedang berobat ke dokter, di Puskesmas Benteng Jawa. Sejak mendengar kabar itu, aku berjanji pada Ema untuk tidak mencari tahu keberadaan Ende lagi. Aku tahu, hal itu hanya akan menyakiti hati Ema.

Waktu berlalu begitu cepat, saban hari aku merasa hanpa tanpa kehadiran Ende di rumah. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Ende.

Suatu hari aku memutuskan untuk pergi mencari kemana Ende pergi. Hari itu hujan kian deras mengguyuri kota kecamatan. Aku menepi tepat di depan salah satu toko bahan bangunan yang kian lapuk dimakan rayap, dekat rumah jabatan Camat Lamba Leda. Beberapa orang juga ikut menepi di sana. Di bawah rintik hujan, aku sengaja melempar senyum pada setiap mereka yang kutemui, berharap mereka memberiku petunjuk di mana Ende berada. Sayangnya, tak seorangpun dari mereka yang menyahutku.

“Apa benar orang-orang di Lamba Leda yang selama ini terkenal ramah kepada semua orang sudah lupa caranya tersenyum?” Tanyaku dalam hati.

Karena merasa diasingi, aku pun putuskan untuk pergi dari tempat itu dengan perasaan kecewa. Aku terus melangkah menuju perempatan dekat puskemas, tempat Ende dirawat.

"Ende sedang rawat di puskesmas, 3Enduk" kata Ema suatu hari ketika menjelang Maghrib.

Aku terus melangkah menuju ruang gawat darurat. Tapi sia-sia. Ende tidak berada di sana.

“Kenapa Ende meninggalkan aku tanpa memeberitahuku ke mana ia pergi?”Aku kembali bertanya pada beberapa pengendara sepera motor yang sedang mangkal di perempatan menuju pasar. Tetapi tak seorang pun dari mereka yang memberiku jawaban.

Aku meminta mereka mengantarku mencari Ende. Aku pikir Ende sedang berdoa di gereja. Namun kudapati pintu gereja tertutup rapat. Aku melewati setiap ruas jalan kota kecamatan yang kian kelam karena kabut dan kehilangan cahaya.

Alunan nada yang syahdu mengiringi langkahku kembali menuju jalan raya, melewati kompleks pertokoan menuju kantor kecamatan mengikuti pengendara sepada motor dari arah Benteng Jawa menuju kampung Ketang. Melewati pemukiman warga Tengku Leda.

Aku berlari sekuat tenaga, hingga berjalan sejajar dengan mereka, tetapi tetap saja mereka tidak peduli. Karena belum puas, aku terus berjalan sejauh tiga kilometer menuju utara, keringat terus mengalir di sekujur tubuh hingga membasahi kebaya biru yang kukena dan belum sempat diganti sejak beberapa hari terakhir.

Dari kejauhan, aku sesekali melihat hamparan padi yang tampak mulai menguning di persawahan Wae Wina. Suara teriakan terdegar jelas dari kompleks sekolah SMAN 1 Lamba Leda, ikut memecah kesunyian.

Aku terus berjalan melewati pertigaan jalan raya Benteng Jawa menuju Dampek. Perlahan menoleh kanan-kiri sebelum melewati jalan masuk yang bertuliskan “Selamat Datang di Gua Maria Cingcoleng”. Aku memastikan tidak ada mata yang mengawasiku berjalan menuju Gua Maria. Tempat ziarah umat Katolik di bulan Mei dan Oktober.

Aku terus melangkah menuju tempat parkir kendaraan. Aku merasa denyut jantungku dua kali lebih cepat dari biasanya.

Sebelum memasuki stapak kayu menuju kapela, pandanganku dimanjakan oleh suguhan indahnya panorama hutan Werwitu yang berhadapan dengan persawahan warga kampung Ketang di tengah semburat warna jingga yang mulai menampakan diri.

“Benar kata Ende, sungguh indah alam ciptaan Tuhan”

Aku menatap jarum jam yang menempel pada dinding kapela telah menujukan pukul 16:00 WITA. Aku perlahan berjalan melewati anak tangga satu per satu sambil sesekali melihat gambar Yesus pada setiap papan putih yang bertuliskan perhentian-perhentian. Aku lupa berapa jumlah papan itu.

Beberapa gambar di antaranya terpajang wajah Yesus penuh lumuran darah. Ini kali kedua aku melihat gambar yang sama setelah yang pertama  di dalam Gereja St. Paulus Benteng Jawa di Bukit Sion. Demikian orang-orang di Benteng Jawa memberi tahu tentang letak gereja di pusat kota kecamatan Lamba Leda itu.

Tidak berhenti di situ. Aku terus melangkah menuju gua, satu per satu cahaya lilin mulai redup termakan cahaya. Aku pengunjung terakhir yang datang mengujungi Maria. Aku tidak membawa apa-apa seperti kebanyak orang yang datang sebelum aku, selain sehelai kain yang sengaja aku lipat dalam kantong celana.

Dengan penuh penyesalan aku mulai berlutut tepat di bawah kaki Maria. Aku mulai menatap wajahNya dengan sungguh-sungguh. Aku takut Ia menolak kedatanganku, seperti kebanyakan orang yang telah menolakku di luar sana.

Baca juga: Surabaya; Kadang Asyik, Kadang Usik


Aku perlahan memejamkan mata dan mulai berdoa, setelah mengayun tangan kananku menuju dahi, turun ke dada, tepat pada ulu hati, lalu pindah ke lengan kiri, dan berakhir kembali di lengan kanan. Aku tersenyum malu, ternyata aku masih pantas menyatakan tanda kemenangan Kristus.

Aku benar-benar datang menyerahkan diri secara utuh.

Tak ada suara yang terdengar selain gemercik air yang mengalir dari dalam gua dan suara kepakan sayap kelelawar memecah keheningan. Saat itu aku merasa semakin dekat dengan Bunda Maria. Dengan sangat hati-hati aku menatap ke arah sebelah kiri tepat patung Yesus terbaring kaku dalam pelukan Maria. IbuNya.

(Keterangan Foto : Patung Yesus dalam Pelukan Maria setelah diturunkan dari kayu salib. Patung tersebut tampak berada di sisi sebelah utara Gua Maria Cingcoleng. Sumber ; Situsbudaya.id)

Hembusan angin seakan memeluk tubuhku yang basah bekas keringat. Rambutku perlahan mengikuti irama alunan angin. Tanganku meraih sehelai kain dari dalam kantong celana, lalu mengusap wajahku yang penuh keringat. Saat itu aku membayangkan wajah Ende agu  Ema di hadapan Maria.

Tabe Yo Maria” Kataku perlahan, sambil kembali menatap wajahNya dengan sembah sujud.

Aku kembali berlutut, kulihat nyala lilin mulai menghilang. Sebagian sisi gua sudah mulai gelap. Kicauan burung gereja mulai memadati seisi langit untuk kembali ke sarang setelah seharian mengembara di alam bebas.

Air mataku tak tertahan dan kembali menangis di hadapan Maria.

“Aku mencari Ende, dia pergi tanpa pamit padaku, Bunda”. Dengan suara sedih, aku mulai menjelaskan tujuanku datang ke tempat ini.

“Veronika, anakku. Perempuan yang kau panggil Ende sedang ada bersamaKu di tempat ini” Suara laki-laki terdengar sangat lembut datang dari dalam gua.

Aku mencoba pusatkan perhatian menuju sumber suara yang baru saja kudengar, namun kosong. Aku tidak menemukan siapa-siapa selain sebuah gambar diriku yang berada di antara tumpukan intensi pengunjung di gua itu.

“Kenapa fotoku berada di tumpukan ini, Bunda?” Karena penasaran, aku kembali bertanya.

“Anakku, berapa waktu lalu kau pergi mencari perempuan yang kau sebut Ende dan meninggalkan laki-laki yang kau sebut Ema seorang diri di rumah. Saat itu tubuhmu terbaring kaku." Suara itu kembali kudengar, lalu memberi jeda cukup lama.

"Aku belum memanggilmu pulang, Enduk. Kau telah melakukan dosa hingga banyak orang meratapi kepergianmu” Kini suara itu semakin jelas datang dari balik patung Maria yang sedang berdiri.

Aku metatap kearah anak tangga menuju kapela di gua itu, kulihat Ema menangis. Aku memanggilnya, namun ia tidak memberi jawaban apapun seperti kebanyakan orang yang aku jumpai di jalan menuju tempat ini.

Maafkan aku, Ema. Iklaskan kepergianku mencari Ende.

"Jangan bersedih lagi, nak. Kau sudah dekat dengan perempuan yang kau sebut Ende. Pencarianmu telah usai. Dia ada di sini"

Setelah mendegar suara Maria, aku sadar, aku bersalah telah membuat kecewa orang-orang yang mencintaiku dengan tulus. Setelah pergi dan sengaja mengasingkan diri dari dunia, aku pikir ini satu-satunya jalan menuju kebahagian, ternyata Ia tidak mengizinkan aku mengakhiri kesempatan hidup dengan membunuh diri. Biarkan kita pulang atas kehendakNya.

Aku menyesal atas semua yang telah terjadi. Ternyata EmaEnde, Gereja, dan Maria melarangku untuk pergi. Mereka benar-benar sayang padaku.

Berapa saat berselang, aku melihat beberapa orang termasuk Ema bersama seorang guru gama
berdiri di tempat doa yang berada tepat di ujung bibir gua. Dengan suasana hening, aku melihat mereka mengambil sikap yang pantas untuk berdoa. Barangkali mereka sadar bahwa pada akhirnya setiap orang yang pergi akan didoakan.

Kulihat Ende berada di sisi kanan Maria, ia tersenyum bahagia. Pakaiannya putih bersinar. Rambutnya diikat kepang dua. Saat itu Ende terlihat sangat cantik.

Semakin lama, nada lantunan suara mereka seperti pelan-pelan memudar. Meski terdengar kian rapuh, aku ingat persis penggalan nada syahdu yang mereka ucap.
"Tabe Yo Maria
Ata penong le widang nggeluk,
Mori Kraeng agu Ite"

Selesai

1  Ibu dalam dialek Manggarai Timur (Lamba Leda)
Ayah dalam dialek Manggarai Timur (Lamba Leda)
Anak perempuan dalam dialek Manggarai Timur (Lamba Leda)
Tabe Yo Maria  : Salam Ya Maria. Merupakan doa Katolik berbahasa daerah Manggarai yang diucapkan setelah peristiwa. Biasanya doa ini diucapkan secara gilir setiap bulan Maria dan bulan Rosario.
 Seseorang yang dipercaya untuk mengangkat sembahyang yang dilakukan secara gilir dari rumah ke rumah setiap bulan Mei dan Oktober


Salam
Osth Junas|
Laki-laki penyuka anggrek

*Tulisan ini sudah tayang pada rubrik cerpen di Tabeite.com edisi Oktober 2019. Dengan judul; Tabe Yo Maria (Klik di sini untuk membaca)