(Foto : Dokumen Pribadi; Januari 2020)

Di Surabaya, Jawa Timur, saya banyak bertemu orang baru. Perempuan dan laki-laki. Cantik, ganteng, keren, dan kekinian.

Pada sebuah kesempatan, tentu sebelum virus ini menyerang, dua bulan lalu tepatnya. Malam setelah Adzan Magrib, ponsel saya berdering.

Nomor baru memanggil. Saya angkat perlahan. Ragu-ragu awalnya. 

"Halo, Kaka Oswald" suara itu sayup terdengar. Lembut di telinga kanan. Halus. Sepertinya datang dari perempuan cantik. Batin saya kembali bekerja normal setelah seharian kelelahan.

"iya, ada yang bisa saya bantu?" tanya saya datar.

Kalau boleh jujur, sebetulnya saya sedang grogi. Buktinya saya lupa tanya ini siapa dan dari mana. Tetapi setelah saya pikir-pikir lagi, ada baiknya membiarkan dia perkenalkan diri terlebih dahulu. Beri dia ruang, dan itu artinya saya tidak perlu modus, karena itu basi. Sudah terlalu banyak yang terapkan strategi demikian ketika ada nomor baru yang memanggil. Sok akrab. Namun tetap saja gagal. Ada baiknya kita perlu mencoba hal baru.

"Oh iya Kaka..saya Wela" katanya

"Nama yang bagus" potong saya sejenak lalu hening. 

Saya ingat pohon kopi di kebun dekat rumah sudah mulai berbunga.

"Wela's kopi dite ge!" Kata Bapa suatu hari melalui pesan singkat. Artinya ada pundi-pundi rupiah di sana.

"Hehehehe" terdengar suara tertawa dari balik ponsel, tapi seperti bukan nada tertawa yang sempurna. Itu hanya paksaan. Sama halnya ketika seorang mengatakan aku takut kehilangan kamu, tapi dia sendiri selingkuh berkali-kali. Ada unsur paksaan dalam hubungan itu.


"Kaka, saya pake whatsapp saja ya". Katanya di ujung telpon, kemudian "tet, tet, tet..." tanda panggilan berakhir.

Saya tidak tahu harus jawab apa. Mematung dan melihat ke arah cangkir kopi yang tersisa separuh. Suasana itu memaksa saya untuk mengatakan bahwa cangkir itu terlihat lucu. 

"Kupacu sepeda motorku, jarum jam tak mau menunggu. Maklum rindu. Traffic light aku lewati, lampu merah tak peduli, jalan terus. Di muka ada polantas, wajahnya begitu buas, tangkap aku. Tawar menawar harga pas, tancap gas" lagu Iwan fals terus saja menggerutu dari balik speaker aktif yang baru saja saya beli bekas dari tukang becak yang katanya sejak kemarin tidak dapat tarikan penumpang.

"Kak, maaf saya Wela. Mahasiswa semester tiga jurusan Ekonomi pembangunan di kampus A. Dalam waktu dekat kami adakan kegiatan diskusi internal. Jika tidak ada halangan, silakan hubungi kami besok pagi. Kuota pembicara kami tersisa satu".

Awalnya saya ragu. Setelah mencari informasi terkait kegiatan itu, saya pun memilih terlibat di sana.
***
Hari yang dinantikan pun tiba. Wela terlihat sibuk. Lima menit sebelum berangkat, saya menghubunginya melalui whatsapp.

Saya dan Wela belum pernah bertemu sebelumnya. Dari foto profil whatsapp saya menarik kesimpulan kalau anak itu tipe perempuan smart. 

"Halo, Wela" sapa saya ramah. Tepat di depan gerbang kampus kami bertemu.

"Hai, Ka Oswald" balasnya singkat sambil memberi respon berjabat tangan. Senyumnya sumringah.

"Tuhan memang baik. Menciptakan manusia dengan ciri khas tersendiri" ucap saya dalam hati.

Saya perlahan mengikuti langkah Wela berjalan menuju tempat digelarnya acara diskusi yang dimaksud perempuan itu beberapa hari lalu.

Serangkaian acara sudah berjalan satu jam sebelumnya.


Baca juga: Kegelisahan Terberat Mahasiswa Baru Ketika Kehilangan Magic com


"Saya telat?" Tanya saya pada Wela.

"Nggak kok, Kak. Memang sudah dirancang begitu" logat Jawa Timur nampak.

Lalu saya masuk dan menempati tempat duduk yang sudah disiapkan panitia penyelenggara.

Ribuan pasang mata tertuju pada gerak-gerik saya. Saya hampir saja menendang kursi kosong di sebelah tempat duduk saya. Lagi-lagi grogi. Di ruangan yang mereka sebut aula kampus itu, saya berdiri tepat di depan ratusan calon pegawai Bank. Lebih banyak didominasi perempuan. Cantik-cantik.

Hingga saya lupa tujuan saya datang kemari.

(Dokumen Pribadi; Januari 2020)

"Perkenalkan nama saya Oswald" kalimat pertama yang saya lontarkan setelah pembawa acara memberi kesempatan pada saya untuk perkenalkan diri.

Kemudian hening. Seisi ruangan ikut hening.

"Saya seorang laki-laki penyuka anggrek" sontak ramai, mereka tertawa. Seisi ruangan kembali terisi. Tidak lagi kosong, hampa dan sepi.

"Dari kecil sampai sekarang cita-cita saya cuma satu. Yaitu mandi" kata saya setelah mereka diam. Kali ini sepertinya mereka kebingungan. 

"Rasakan itu. Saya buat kalian berpikir dua kali lebih berat dari mata kuliah perhitungan akuntansi keuangan di kelas" 

"Kenapa mandi, Kak?" Tanya seseorang dari sudut ruangan.

"Karena bagi saya, mandi adalah kejutan. Akan ada hal baru setelah kita mandi!"

"OOO" sambil mengangguk, mulut mereka seakan satu komando membentuk huruf kosong itu. Kompak.

"Tetapi begini, saya sarankan kalian tidak perlu mendefinisikannya dengan metode kuantitatif atau kualitatif. Itu berat" mereka kembali bergemuruh.

Sebagai penutup sesi perkenalan, saya bilang: "Jangan coba-coba hidup seperti lampu lalu lintas"

"Kenapa?" Tanya Wela. Perempuan yang dari tadi diam-diam memotret saya.

"Buat apa rela menunggu terlalu lama, jika pada akhirnya akan tetap pergi juga. Dan kita sering alami itu di jalanan"
Kata saya lalu mulai dengan materi diskusi pertama.

Wela tersenyum, saya pun demikian.

Ah.. Surabaya. Kadang asyik, kadang usik. Kadang bikin rindu.

Salam
Osth Junas|
Laki-laki penyuka anggrek