![]() |
| (Sumber Gambar : Brilio.net) |
Saeh, gadis belia yang baru lulus
dari salah satu SMA Negeri ternama di kotanya. Kehidupan keluarganya terbilang
sangat harmonis. Saeh anak yang beruntung. Dia lahir dan besar di keluarga yang kaya raya. Apalagi dengan statusnya sebagai anak tunggal kerap membuat ia tumbuh menjadi gadis yang manja. Keluarga mereka menjadi salah satu keluarga terpandang di
kompleks tempat tinggal mereka. Ayah dan Ibu yang berprofesi sebagai tenaga
medis di Rumah Sakit yang dikelola pemerintah daerah setempat. Tempat yang
sering 'orang kampung' sebut eresude. Kehidupan Saeh jauh dari
kata susah, tidak seperti kebanyakan anak-anak dari kalangan bawah di kota itu.
Semua kebutuhan finansial tercukupi dengan dukungan profesi orangtua yang
menjanjikan. Dalam hal ini berpenghasil tetap setiap bulan.
Setiap orangtua tentunya menyiapkan masa depan yang
cerah untuk si buah hati tercinta. Tujuan itu menjadi cita-cita hampir semua orangtua, tanpa terkecuali orangtua Saeh. Banyak tawaran-tawaran menarik yang
ditawarkan kedua orangtua kepada sang anak. Setelah melalui pertimbangan yang
matang, akhirnya suatu hari Saeh pun memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa,
tempat di mana semua jurusan perkuliahan tersedia. Mulai dari tingkat keguruan
hingga pegawai kantoran. Tinggal bagaimana kesiapan Saeh untuk memanfaatkan
fasilitas kampus dengan baik.
Atas dukungan orangtua dan semua keluarga besar, gadis itu
memilih Surabaya sebagai kota tujuan untuk menempuh pendidikan ke jenjang
selanjutnya.
Kehidupan di Kota Pahlawan tidaklah mudah bagi sebagian
mahasiswa perantau yang datang dari keluarga yang ekonomi (dalam tanda kutip) "lemah lembut" karena sangat berpengaruh
dengan keberlangsungan hidup di kota. Keadaan kota seakan menuntut seseorang untuk mampu mengatur gaya hidup
agar tidak seperti team hore pada sebuah ajang kontestan
mencari bakat. Datang hanya tepuk tangan, pulang dengan tangan merah, memar,
perih dan bengkak. Trada hasil.
Menjadi mahasiswa yang mengabil dan menekuni jurusan
kesehatan konsentrasi foto rontgen atau perekam medis itu bukanlah
cita-cita mudah. Selain gengsi di lingkungan masyarakat karena mengangkat nama
baik keluarga, calon tenaga rekam medis juga memerlukan kerja ekstra untuk
sampai pada titik akhir. Saeh pun bersedia dan sanggup bergabung ke dalam dunia
foto rontgen. Ia satu-satunya putri
kelahiran Nuca Lale yang mempunyai niat mengemban pendidikan bergengsi ini.
Walaupun sebelumnya sudah ada lulusan dengan gelar yang sama. Mungkin dengan
hitungan jari. Sisanya lebih memilih kuliah di jurusan lain seperti Keguruan, Pertanian,
Peternakan, Perbankan, atau Kebidanan.
Orangtua gadis itu tidak mencemaskan pilihan sang anak.
Meskipun waktu empat tahun berada di jenjang perguruan tinggi tidak mudah
seperti yang dipikirkan setiap orang. Berat sekali. Tidak semua orang bisa
bertahan. Baik mental anak sebagai pelaku utama maupun dukungan orangtua
sebagai sumber biaya.
Waktu pun seakan begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah
sebulan Saeh berada di Kota Pahlawan.
Masing-masing orang memiliki target pencampaian dalam diri, tidak
terkecuali Saeh. Satu per satu cita-cita semenjak berada di Sekolah Menegah Atas sudah mulai terwujud. Termasuk penampilan.
Berbagai perubahan dalam diri mulai nampak. Dari gaya
rambut yang sudah dijamah aliran listrik 1000volt, alis mata yang sudah ganti warna
pake pensil alis, hingga make-up yang aduhai menambah paras cantik si molas
kota kabupaten yang sedang berusaha mencari jati diri di kota metropolitan.
Perubahan-perubahan itu ternyata sudah lama terekam secara apik
dalam daftar target yang ingin dicapai molas
kota itu.
Gelar mahasiswa baru pun sudah melabeli perjuangan awal Saeh,
tentunya setiap mahasiswa baru tidak luput dari godaan senior yang menjadi
penunggu abadi di kampus. Ini sudah menjadi tradisi hampir di setiap penguruan
tinggi sejak dulu. Sebagai molas
kota yang lahir dan dibesarkan di kota kabupaten, ia cendurung tumbuh menjadi
sosok yang sangat sulit untuk diajak kenalan. Apalagi dengan status keluarga
yang "serba ada" membuat ia merasa tidak membutuhkan orang lain
selain orangtua sendiri.
Setahun berjalan, urusan kuliah baik-baik saja. Aktivitas setiap hari antara kehidupan di kampus dan di kos-kos-an membuat molas kota itu merasa jenuh dengan
lingkungan sekitar. Tentu saja ini membosankan. Butuh refresing.
Bagi gadis itu, refresing
adalah sejenis ungkapan yang mendatangkan jutaan rasa penasaran tentang
dunia Saeh yang awalnya sempit dan hubungannya dengan kota yang luasnya tidak
selebar daun kopi milik petani kopi di Manggarai Timur. Luas sekali. Yang
awalnya hanya menghabiskan waktu di kampus dan di kos, jadi penasaran dengan
lingkungan luar. Mungkin pasar, atau Mall.
Tapi tentu saja bukan mall atau pusat
perbelanjaan lainnya karena hampir setiap hari libur gadis itu berada di
sana.
Akibat kurang bergaul atau memang karena gengsi bergaul
sesama rakat1, Saeh pun menyelesaikan sesuatu sendiri dan cenderung mengurung diri. Fotocopy bahan kuliah atau ketik tugas,
contohnya. Jarang ada orang yang mengajaknya ngobrol, meski sekadar curhat tentang tugas kuliah atau hal spele
lainnya. Jarang sekali.
Suatu hari yang cerah, seperti biasa, kota itu selalu panas
di siang hari. Di dalam kamar kos, Saeh
asyk berselancar di media sosial. Berawal dari instastory yang diupdate di akun intagram, ada seorang laki-laki
yang mengajaknya chatingan. Awalnya basa-basih, senjata modus paling ampuh alla rakat.
"Kuliah di mana? Semester berapa? Ambil jurusan
apa?" itu merupakan beberapa chatingan
pembuka, mencoba menghangatkan suasana komunikasi di dunia maya.
Rupanya reba kota
yang juga sedang eksis di kota mulai
mencari tahu tentang Saeh. Tentu dengan penampilan reba kota yang cukup aduhai membuat mereka dihitung sama-sama
sekelas atas. Gengsi berteman sesama rakat
pun sudah semakin memuncak.
“Padahal sesama "rakat", gengsinya minta ampun.” Kata
beberapa orang yang sama-sama berasal dari satu daerah. Menurut mereka, Saeh
tergolong gadis yang sombong.
Kota yang menjadi tempat awal bertemunya reba dan molas kota ini menjadi awal dan akhir bagi Saeh.
Saeh semakin terbuai dengan rayu-rayuan maut sang pujangga
dari timur. Mulai dari makan bareng, nonton di bioskop, hingga berakhir
menyaksikan senja di taman. Itu menjadi aktivitas yang bagi mereka sangat
romantis. Tentu saja bagi manusia, sesempurna apa pun hidup
seseorang, sekaya apa pun harta yang dimiliki, setinggi apa pun gaya hidup, di
hadapan jatuh cinta ia bukan siapa-siapa. Jatuh tanpa syarat apa pun. Itu yang sedang
dialami kedua insan ini.
Sepuluh bulan berlalu, urusan kuliah pun mulai terbengkalai.
Yang awalnya datang satu jam sebelum jadwal kuliah dimulai, berubah menjadi sepuluh menit sebelum dosen keluar menutup jam perkuliahan. Komunikasi dengan orangtua yang awalnya ditelepon sehari
sekali berubah menjadi seminggu sekali. Bahkan saat membutuhkan sesuatu baru
menghubungi mereka. Semua berubah setelah Saeh menemukan warna baru dalam
perjalanan hidupnya.
Sejak pertemuan itu, Saeh mulai lupa dengan tujuan utamanya
datang ke kota. Rekam medis yang menjadi cita-citanya perlahan memudar.
Semangat dalam diri sang gadis mulai menurun.
Hingga dua tahun berlalu, hubungan mereka semakin serius.
Urusan kuliah kembali stabil dari sebelumnya. Tidak ada lagi hal-hal romantis
yang dirayakan berdua. Mereka menjalani hari-hari layaknya sepasang suami
istri. Berdebat tentang hal-hal sepele hingga baku pukul di kamar kos-kos-an. Saeh
pun menyesal telah menerima dan memberi segala sesuatu yang dimilikinya kepada
sang kekasih, termasuk keperawanannya.
Barang-barang mewah yang dibelinya beberapa tahun saat awal
masuk kuliah dijual dengan harga murah di situs penjualan barang bekas online,
demi memenuhi kebutuhan sang pacar.
Kehidupan Saeh berantakan dan tak terurus lagi. Warna
alis yang kembali memudar, rambut yang kembali kriting-ombak karena sudah tak
terawat. Tugas kuliah yang semakin menumpuk dan tentunya sangat menguras
tenaga.
Hingga suatu hari, Saeh terlihat sangat lelah dan jatuh
pingsan di laboratorium saat melakukan praktik untuk memenuhi nilai standar
penelitian. Mukanya pucat, hidungnya perlahan menetes darah.
"Maaf, saya sedang kejar deadline tugas". Jawaban sang pacar melalui SMS ketika mengatahui kekasihnya masuk
rumah sakit.
Tiga jam, Saeh tak sadarkan diri, sang pacar pun tak
kunjung datang.
Menit ke sekian, Saeh mulai sadar. Ia perlahan membuka mata
dan cemas dengan suasana kamar rumah sakit. Ia terbaring kaku. Haus dan
lapar, ia lewati seorang diri. Bulir air yang keluar dari
sela-sela lentik bulu mata mulai membasahi pipi, sepertinya ia sulit menerima
kenyataan tentang dirinya yang tengah mengandung empat bulan. Menurut dokter ia
positif hamil, setelah beberapa kali melakukan aborsi pada bayi yang
dikandungnya.
Tangis Saeh pun pecah, ia teringat perjuangan orangtua yang
telah mengantarnya hingga sampai pada titik ini. Ia tidak mampu menerima
kenyataan pahit yang menimpa dirinya.
Ia menyesal telah menghancurkan nyawa sang anak dengan tisu
sebagai pembersih yang terbuang pada tempat sampah. Sungguh hancur hati sang
ibu muda. Rasa bersalah pun lahir bersama air mata yang mengalir.
"Ibu, aku
ingin pulang. Peluk aku, Ibu".
Kata-kata itu terus saja keluar dari mulut Saeh.
Sungguh malang nasib perempuan itu. Hingga orangtua
mengetahui kejadian itu. Mereka pun memutuskan agar Saeh berhenti kuliah dan
pulang ke rumah.
_______
Salam
Osth Junas|
Laki-laki penyuka anggrek

2 Komentar
Sangat menarik sekali cerpennya, mengandung pesan moral yang disampaikan bahwa kita dari cerita diatas mengingatkan kita terlebih khusus kaum milenial yang merantau/kuliah di tanah orang agar tetap was-was dalam pergaulan, karena akan memicu beberapa faktor yang mengintimidasikan pandangan/persepsi dari ororang2 atas perbuatan yang sudah dilakukan contohnya aborsi, melihat itu kebanyakan sekarang takut menanggung malu/aib di keluarga jadi jalan keluarnya adalah aborsi.
BalasHapusPadahal, tindakan itu mengancam nyawa sendiri dan bayi yang tak berdosa sungguh malang.
Iya Kak. Sayangnya, kasus serupa masih marak terjadi đŸ˜¢
Hapus