(Sumber gambar : IDN Times)

Sebagai orang Manggarai yang lahir, hidup, dan besar di tanah Nuca Lale, tentu tidak keliru jika saya menilai bahwa hidup di tanah ini tidak segampang membolak-balik pesan via whatsapp yang sudah centang biru dua namun tak kunjung dibalas. Atau menunggu jawaban “iya, Nana. Saya mau e” ketika sedang mengajak orang pu anak perempuan untuk pi jalan-jalan ke Pantai Cepi Watu, Borong, Manggarai Timur. Tidak semudah itu. Banyak yang harus ditata dalam kehidupan rumah tangga, terutama kesejahteraan yang di dalamnya termasuk menjanjikan masa depan yang cerah bagi tiap-tiap anggota keluarga.

Manggarai menjadi salah satu kota yang memiliki banyak keunikan. Mulai dari alamnya yang indah, adat-istiadat yang terus dijaga keaslihannya, juga sumber daya manusia yang mampu bersaing di pelbagai bidang pada kanca nasional maupun internasional. Berkat jasa para missionaris yang dengan gigih menyalakan cahaya pendidikan pertama kali di NTT umumnya, dan Manggarai khususnya, sehingga berhasil menjadikan kota ini sebagai kota dengan label pendidikan yang tidak buruk-buruk amat. Buktinya beberapa sekolah di Manggarai mampu mencetak pemikir yang handal di bidangnya masing-masing.

Sebelum kita melangkah jauh ke pelaminan dalam membaca artikel ini, ada beberapa refensi yang berhasil penulis petik terkait sejarah singkat awal mula lahirnya pendidikan di Manggarai raya. Terdapat beberapa nama misionaris yang berhasil ditulis di dalam lembaran sejarah di antaranya; Pater Gaspar Hubertus Fransen yang merintis sekolah di Larantuka, Pastor Frans Cornelissen yang mendirikan seminari Lela, Pater Leo Perik di Seminari Kisol, dan juga Pater Yan van Roosmalen yang meletak fondasi STKIP St. Paulus Ruteng, dan beberapa misionaris masyhur lain di belahan bumi NTT yang bergerak.

Pater Yan van Roosmalen adalah adalah seorang pastor SVD (Societas Verbi Divini) kelahiran Belanda 27 Agustus 1920. Pastor yang ditabiskan pada 18 Agustus 1946 ini memulai karya di tanah Manggarai pada masa-masa awal kemerdekaan, 1949.

Pada 27 Januari 1949, Pater Roosmalen untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di bumi nusantara, setelah berlayar 40 hari, Roosmalen akhirnya tiba di tanah impian, Flores, pada 28 Februari tahun yang sama. Seorang pemuda yang berusia 29 tahun saat itu, Roosmalen tiba di Ruteng pada 18 Juli 1949 (Deki, 2015 diacu dalam Ican Lagur, 2017 (kompasiana.com)).

Roosmalen mengawali karyanya di bidang pendidikan dengan mengabdi pada Yayasan Sekolah Umat Katolik (YASUKMA).

Ia bekerja sebagai pengurus penggajian guru-guru SDK se-Manggarai sambil mengabdi pada dua Sekolah Rakyat yaitu Ruteng I dan Ruteng II. Ia adalah pendiri Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Manggarai yang diberi nama SMP Tubi sekaligus menjadi kepala sekolah pertama lembaga tersebut. Hingga kini, seiring berjalannya waktu, pendidikan di Manggarai sudah semakin maju. Berbagai lembaga pendidikan tersebar hampir setiap wilayah di Manggarai raya dengan didukung oleh peradaban manusia yang unik dan modern, juga tidak terlepas dari faktor  lain seperti adat-istiadat dan sumber daya alam yang berlimpah.

Dari beragam keunikan tersebut, hal yang paling melekat dengan kehidupan orang manggarai saat ini yaitu pendidikan yang erat kaitannya dengan urusan menikah. Eits…. Memilih dan menentukan dengan siapa Anda menikah, tepatnya.

Baca juga: Kegelisahan Terberat Mahasiswa Baru Ketika Kehilangan Magic com

Percaya atau tidak, pada umumnya orang Manggarai yang beranggapan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan hanya berkisar 70-80% saja, sedangkan sisanya lebih melihat latar belakang seorang pelamar maupun orang yang dilamar. Tetapi tidak menutup kemungkinan persentase ini kadang berbanding terbalik. Tergantung dengan siapa Anda jatuh cinta.

Saat ini di Manggarai, pendidikan dan menikah keduanya memiliki kepenting masing-masing. Misalnya; jumlah belis yang dilimpahkan kepada anak wina atau keluarga pelamar harus setara dengan biaya yang dikeluarkan oleh anak rona atau orangtua perempuan saat membiayai pendidikan anaknya dari tingkat sekolah dasar sampai jejang pendidikan tinggi.

Tidak hanya itu, klasifikasinya pun beragam berdasarkan pada profesi yang ditempuh oleh seseorang yang dilamar. Berdasarkan tolok ukur demikian, makna belis kini dinilai bukan lagi sebagai simbol pemersatu antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan melainkan menjadi ajang kalkulasi ekonomi. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa menikah di Manggarai perlu disiapkan secara matang. Baik dari segi materi maupun finansial, itu artinya seorang pelamar tidak hanya bermodal joak saja atau yang sering orang Jakarta bilang; elu jangan hanya punya skill bacot doang jadi cowo, untuk mendapatkan restu orangtua perempuan.

Jadi, Anda mesti berjuang menyelesaikan pendidikan jika menginginkan kehadiran Anda dihitung dalam keluarga perempuan. Ya...paling tidak Anda sudah berhasil meraih satu poin dari kriteria yang ditetapkan inang-inang sebelum mereka bilang; “Iyo, Nana. Hitu olo kamar de meu sua agu Enu”.

Baca juga: Ruteng, Bulan Maria, Kompiang dan Kenangan (Bagian 1)


Salam
Osth Junas|
Laki-laki penyuka anggrek