![]() |
| Sumber gambar: facebook@Natalia |
Jadi begini, tulisan ini bukan berdasarkan keresahan dan bukan merupakan bentuk kepedulian terhadap mahalnya nominal belis atau paca di Manggarai, juga bukan merupakan bentuk pengalihan isu atas luka yang telah lama membeku, tetapi kehabisan material dalam kentong sebelah konpor yang membuat saya terdorong untuk menulis,. Eh.. jadi curhat.
Oke. Serius, kita kembali ke laptop.
1Paca
adalah anggota genus cuniculus dari
hewan pengerat herbivora yang hidup di daratan Amerika Selatan dan Tengah;
bukan itu yang menjadi sorotannya saudara/i yang terkasih dalam Kristus.
Bicara soal belis bukan
menjadi hal asing lagi bagi masyarakat NTT secara umum dan Manggarai secara
khusus. Upacara pemberian belis bukanlah merupakan seremonial belaka tanpa
makna. Belis atau paca sejatinya merupakan salah satu bentuk atau menandakan
keseriusan laki-laki dan keluarganya untuk menjalin hubungan pernikahan dengan
sang wanita yang menjadi tambatan hati dan juga merupakan bentuk penghormatan
terhadap perempuan sebagai rahim yang melahirkan generasi penerus. Belis atau
paca bukan saja tentang perikatan hubungan antara pria dan wanita yang
menikah, lebih dari itu dapat dijadikan sebagai tanda jalinan ikatan kekeluargaan
antara kedua keluarga besar.
Memaknai budaya itu dinamis bukan absolut, maka seiring berjalannya waktu, budaya juga akan berkembang dan berubah dengan sendirinya terhadap masa yang berbeda dan orang yang berbeda tapi di tempat yang sama.
Wilayah Manggarai pun
yang terbentang dari wae mokel awo'n dan selat sape sale'n juga menjadi “korban” yang tidak luput dari perkembangan ini. Kota yang terbagi menjadi tiga wilayah administrasi
kabupaten tersebut memiliki catatan dengan nominal belis/paca yang fantastis sehingga
berpengaruh secara signifikan terhadap pemahaman masyarakat tentang belis itu
sendiri (belis seolah-olah diartikan sebagai transaksi jual beli dimana
perempuan sebagai produsen atau penyedia dan laki-laki sebagai konsumen atau
pembeli).
Dalam pemberian belis
orang manggarai ada istilah wae teku tedeng (ai bom anak ca leso) yang secara
harfiah dapat diartikan sebagai air yang ditimbah secara terus menerus (bukan
menjadi anak seharian saja). Dalam konteks belis orang Manggarai, istilah ini
dipakai dengan maksud belis tak harus dibayar lunas,karena seyogianya para
mempelai yang diikatkan dengan perkawinan (adat) bukan saja tentang belis atau
paca tetapi bagaimana keharmonisan hubungan yang terjalin secara terus menerus
(sida atau acara adat tertentu pasti melibatkan keluarga kedua belah pihak
sebagai silsilah yang akan menjadi sejarah kelak).
BELIS/PACA
TIDAK MEMISKINKAN DAN TIDAK MEMPERKAYA
Tidak perlu sibuk mencari intervensi, eh...! Referensi maksud saya. Sejauh pengamatan
saya, belum ada yang miskin dan belum ada yang kaya karena nomimal angka pada belis. Lantas
kenapa akhir-akhir ini seolah-olah belis itu sesuatu yang menakutkan sehingga
menjadi keresahan tersendiri bagi para kaum millennial? Khususnya laki-laki Manggarai.
Kita lebih sering
memaknai sesuatu berdasarkan besar kecilnya biaya yang dikeluarkan tanpa
melihat secara spesifik makna yang terkandung di balik semuanya itu.
Belis di Manggarai adalah
warisan leluhur (mbate dise ame,ledong dise empo) yang harus dilestarikan, hal
ini berarti belis ada sejak sebelum ada kakeknya bapaknya kita lahir. Nominalnya pun mahal pada
zamannya. Dan saat ini, masyarakat kita menilai belis itu mahal karena berkaca pada perbandingan dulu dan
sekarang yang mana semakin hari nilai rupiah semakin lemah sehingga kita menganggap belis
sekarang mahal, padahal mahalnya sudah ada sejak dulu.
Apakah belis yang sangat
besar itu mengimplikasikan peningkatan ekonomi pihak anak rona?
Melihat fakta yang
terjadi di lapangan tidak terdapat variabel yang menghubungkan antara
jumlah belis yang diberikan ke pihak anak rona dengan peningkatan kualitas hidup
keluarga anak rona setelah anak perempuan mereka menikah.
Esensinya belis/paca
bukan untuk memperkaya sehingga ada pihak yang dimiskinkan melainkan prosedur
(adat) serta tuntutan budaya yang mengharuskan belis/paca diadakan sebagai simbol yang menyatu kedua keluarga besar. Kendati demikian, besar
kecilnya belis terjadi karena kesepakatan antar kedua belah pihak yang
diwakilkan oleh juru bicara (tongka) masing-masing keluarga anak wina (penerima
istri) dan anak rona (pemberi istri).
Tentang Penulis
![]() |
Edz Irwan
Saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang. Klik di sini untuk kenal lebih dekat dengan Irwan.
|


0 Komentar